Menjadi Hamba Sahaya Bagi Anak



Galang Rambu Anarki adalah nama yang terkenal bukan cuma karena ia anak Iwan Fals. Tapi juga karena inilah anak yang namanya dijadikan judul lagu oleh bapaknya. Anak yang meninggal muda, yang kelahirannya diceritakan oleh si bapak lahir awal Januari, menjelang pemilu dan harga BBM sedang membumbung tinggi pula. Dan anak yang ketika meninggal menimbulkan duka yang hebat bagi bapaknya.

Salah satu duka yang sangat dikenang sang bapak ialah ketika Galang itu sering dimintanya pergi, dilarang mendekat dan mengganggu, ketika bapaknya tengah membuat lagu. Sebuah keputusan yang sangat menganggu batin Iwan Fals kemudian dan keputusan yang amat ia sesali. Sebuah luka yang membuat ia berjanji, akan lebih punya waktu bagi anak-anaknya di hari ini.

Saya berterima kasih atas keterusterangan Iwan Fals ini. Dan maaf, jika tulisan ini cuma akan membongkar kesedihannya kembali. Tapi jika Iwan rela duka cita itu saya ingatkan kembali, setidaknya akan bertambah lagi daftar orang tua yang tidak akan begitu saja menghardik anak-anak dari dekatnya.

Betapa anak-anak selalu ingin bercengkerama dengan orang tuanya. Ketika ia menggambar, ia ingin kita menilainya, mengaguminya. Ketika ia tengah bertengkar, lelah dan terlukai oleh teman-teman di sekolah, kita butuh berempati atas deritanya. Menghibur hatinya. Ketika ia butuh bermain, ia ingin kita menjadi teman sebayanya. Mereka ingin kita menjadi kuda tunggangan, menjadi monster jahat yang dia kalahkan, dan menjadi apa saja sebagai teman masa kecilnya.

Ketika ia bicara ia butuh kita untuk mendengarnya. Ketika ia melucu kita diperlukan untuk tertawa. Ketika ia mengadu kita diminta membelanya. Ketika ia kolokan kita harus memanjakannya. Ketika ia pamer kehebatan, kita harus memujanya. Anak-anak adalah raja di rumah kita. Ia tidak bisa menjadi nomor dua. Dan ketika kita, orang tua ini gagal jadi rakyatnya, gagal jadi hamba sahaya, ia akan menjadi anak yang terluka. Luka yang ia bawa hingga ke sekujur hidupnya dan akan menentukan mutu hidup dan matinya.

Tapi betapa berat untuk menjadi hamba sahaya bagi anak-anak kita karena kita sendiri juga adalah anak-anak dalam bentuk yang berbeda. Kita dan pekerjaan, adalah anak-anak dan kegelapan. Ketakutan kita akan kegagalan di masa depan, sama bentuknya dengan rasa takut anak-anak kepada kegelapan. Kita takut jika kesempatan ini hilang hanya karena terlalu banyak waktu yang terbuang. Ini fokus harus kencang di depan, seluruh harga harus dibayar di muka, seluruh gangguan produktivitas harus disingkirkan.

Hidup adalah hari ini. Sekali harus berarti, meskipun esok harus mati. Maka ketika istri butuh mendekat sekedar ingin bercengkerama, ketika anak-anak butuh memeluk hanya sekadar untuk bermanja-manja, kalau perlu kita harus menghardiknya. Bukan kita tak sayang keluarga, tapi karena mereka mendekat pada saat yang tidak tepat. Ketika kita sedang begini gentingnya berkonsentrasi pada pekerjaan. Sedang berdarah-darah menata hari depan, dan ini pun demi kepentingan mereka pula. Jadi demi hidup yang di depan, kita harus berani mengorbankan kebahagian hari ini, begitu dekat kita.

Dan benarlah. Banyak anak-anak terpaksa kehilangan kegembiraannya di hari ini, karena orang tua sibuk menata hari depan yang di sana. Banyak suami-istri lupa bermesraan karena mereka sibuk merancang kemesraan di hari depan. Sementara ketika masa depan itu benar-benar datang, anak-anak telah kepalang kehilangan masa kekanakannya. Ia telah menjadi pribadi yang kepalang luka dan tak bisa menarik waktu kanak-kanaknya kembali.

Ada jenis masa depan yang kemudian menjadi berhala, karena ia meminta terlalu banyak tumbal kebahagiaan yang jelas-jelas sudah nyata ada di sini, di hari ini: anak-anak kita dan masa kanak-kanak mereka.



Note: tulisan ini diambil dari milis tetangga, sengaja saya posting disini karena this story 's very touching....

Love U Balqies....Doakan Bunda, semoga bisa selalu ada untuk Balqies....
Continue >>>

Kisah Inspirasi



Tulisan ini saya dapat dari Sini, Semoga menjadi inspirasi kita semua...

Selamat menikmati

Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.
Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.
Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.
Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.
Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.
Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.
Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.
Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.
“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.
Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.
Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.
Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!
Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.
Continue >>>

Catatan Kecil Di Ulang Tahun Pernikahan Kami


Tanggal hari ini 19 di bulan ini Oktober, empat tahun lalu 2007 bertepatan di hari Jum’at 7 Syawal 1428 H, saya dinikahi oleh Eric Rusbiono. Saya bahagia sekali hingga sekarang di anniversary ke empat kami berdua bersama Balqies anak kami dan calon anak kedua kami. Empat tahun bukan waktu yang sebentar dan juga bukan berarti semuanya berjalan mulus. Selalu saja ada hambatan dan rintangan tetapi sekali lagi Alhamdulillah kami bisa melaluinya berkat rahmat yang maha kuasa.
Perjalanan kami masih panjang, tugas dan tanggung jawab kami masih menanti di depan. Ya Allah semoga kami dapat menjalankannya dengan baik dan semoga kami bisa menjaga ikatan pernikahan ini dengan saling menyayangi dan saling percaya sampai akhir nanti.

Sejak hari itu
Kita berjanji untuk menjadi sahabat
Sejati sahabat
Hari itu empat tahun berlalu
Banyak kisah disepanjang 4 tahun pernikahan kita
Tak kan habis berlembar kertas bila kutulis semua
Kupilihkan ini saja untuk kubagi
Tentang satu yang pernah kurasa
Kau sempat hadirkan cemburuku
pada seorang wanita
Yang titahnya bisa mengalahkan pintaku
……seorang yang memintamu mengantarkannya
Sementara aku sedang ingin kau temani
Seorang wanita yang perintahnya
……mampu membuat kantukmu hilang seketika
Tak ada ruang yang kau sediakan untukku bersaing dengannya
Karena dia lebih utama
Seorang wanita yang aku tidak tahu kau panggil apa
Cemburu ini kerap buta,
Tapi kau hanya tertawa, dan akupun menangis..

Ach…entah, mungkin ini cara Ilahi mengajarkan arti kesabaran
Hanya butuh keikhlasan untuk memulainya lagi
Tapi mengapa mesti dirimu seringnya
Bukankah ini bisa dilakukan lainnya
Dan kau lagi tertawa
Aku?Ternyata benar saja, ikhlasku hanya butuh waktu
Anak kita...itulah alasannya
Aku kian menyadari, betapa bahagia aku...
Seiring masa berlalu
Aku makin bisa memaknai bahwa hidup tak hanya ego
Jangan ganti senyum anak kit dengan tangis yang memilukan
Sahabatku….terima kasih, telah kau ajarkan apa artinya ikhlas
Kau ajarkan apa itu sabar….
Sakit mungkin itu yang di rasa tapi suka cita aku yakin sedang menanti kita

Love U Ayah…..
Continue >>>

Teman...Ada Informasi Penting Nih...


Hai temen-temen semua….Kabar baik tentunya yang aku harapkan dari teman-teman semua. Tetap Semangat, focus dan…senyum jangan lupa ya. Kata orang tuaku dulu..Anis sesusah apa kamu nantinya jangan lupa senyum ya…pasti sedikit susahmu itu akan hilang, dan…setelah kubuktikan ternyata BENAR.
So teman..jangan lupa awali semua harimu dengan Doa, Semangat dan…Senyum.
Oh iya teman, dikesempatan ini aku mau bagi-bagi sedikit bisnis online yang baru saja aku ikuti. Pastinya teman semua tau dunk Produk Oriflame dan pernah dengar mengenai dBC Nerwork? Nah biar sudah pernah ataupun belum berikut ini ada sedikit info yang mungkin di antara teman-teman ada yang tertarik.

MENGENAL dBC NETWORK & ORIFLAME

dBC Network

d'BC Network ini ada dua foundersnya
Dini Shanti dan Nadia Meutia
-- udah tahunan menggeluti bisnis internet
dan kerja di rumah ;-)

Kalo Anda gabung bersama d'BC Network
akan mendapatkan training online,
yang berisi step by step bagaimana menjalankan bisnis Oriflame
secara online dan juga offline.

Anda juga nantinya
akan diberikan macam-macam website
untuk bisa berpromosi dan merekrut.

Oriflame
Oriflame sudah masuk ke Indonesia sejak tahun 1987 loh, dan merupakan salah satu pionir M*LM di Indonesia. Oriflame juga terdaftar di APLI, semua perusahaan M*LM yang menjalankan sistem M*LM MURNI harus terdaftar di APLI demi menjaga kredibilitasnya. Dan tidak semua perusahaan M*LM berani mendaftar di APLI, karena tidak menjalankan sistem M*LM secara murni.

Kelebihan Bisnis ini ;)
sama seperti jika kita ingin menetapkan suatu pilihan, kita harus yakin dulu dengan “latar belakang” pilihan kita itu, apakah cukup kuat untuk kita pilih? apakah cukup baik? kadang “cukup baik” pun belum cukup loh…

sama kayak kita mau milih pergi ke toko “itu” daripada toko “anu”, kita harus tau kelebihan dan promo apa yang sedang ditawarkan oleh toko “itu” sehingga kita lebih memilihnya daripada toko “anu”

atau, kita lagi pusing pengen milih baju, yang model A atau model B, tentu aja kita harus tau apakah baju model A akan membuat kita tampak lebih cantik dan langsing, misalnya? gak mungkin kan kita milih baju yang bikin kita makin keliatan tambah gemuk ;p

sama juga seperti kita ingin memulai suatu usaha, atau suatu bisnis. Kita harus yakin betul bisnis itu akan membawa kita kepada keuntungan yang besar, manfaat yang banyak, dan kemajuan yang pesat.

Naahh…menurut suatu majalah bisnis, bisnis yang satu ini, merupakan bisnis yang tahan banting, yang sedang booming, yang bisa dijalankan siapa saja…

Berbisnis Multi Level Marketing
• Investasi dengan Modal Kecil
Pendaftaran Cuma Rp 39.900
• Jam Kerja Fleksibel
Rata-rata pelaku MLM memilih terjun di usaha awalnya untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Namun, pada kenyataannya, ketika bisnis berkembang pesat dan mengalahkan penghasilan utama, mereka menekuni profesi ini secara serius. Tidak jarang di antara mereka yang keluar dari pekerjaan utama.

Yang saya tahu, ada beberapa leader dBCN yang tadinya seorang pekerja atau karyawan, tapi memutuskan resign setelah bonus bulanannya melebihi gaji di kantornya, atau bahkan resign sebelum dia mencapai level tinggi, tapi sudah berkomitmen fokus di bisnis ini, karena yakin dengan sistemnya.
• Potensi Penghasilan Besar
Oriflame pun memberikan banyak sekali keuntungan dan pembagian bonus bagi Consultantnya. Mulai dari keuntungan langsung dalam penjualan, hadiah produk, promo-promo yang menarik setiap bulannya. Dan sebagai bonus atas performance group yang sudah kita bangun, Oriflame mentransfer tiap bulan kepada kita bonus bulanan. Belum lagi Cash Reward jika mencapai posisi Director keatas. Tiket gratis perjalanan keluar negeri. Hadiah mobil. Kesempatan menghadiri Seminar-seminar yang diadakan di hotel berbintang 5 baik di dalam negeri atau di luar negeri. Yang lebih penting, Oriflame sangat menghargai Consultantnya. Gak rugi deh gabung di Oriflame

JIKA ANDA BERGABUNG BERSAMA KAMI DI D’BC NETWORK
ANDA AKAN MENDAPATKAN LEBIH BANYAK CERITA SERU & MENARIK
DARI SETIAP LIPUTAN, SHARING, DAN MOTIVASI
DARI PARA LEADERS D’BC NETWORK
Kalo mau lihat katalognya ada di sini yaaa.... www.oriflame.co.id
BERGABUNG KLIK
Photobucket

Salam Sukses
Continue >>>

Alhamdulillah....Temen Kita Sudah Ditemukan


Beberapa hari yang lalu aku posting mengenai salah satu temen yang hilang yang intinya saya minta doa temen-temen semua semoga yang bersangkutan ketemu. Yang belum baca postingan itu baca disini.

Alhamdulillah berkat doa temen -temen semua akhirnya Heru Sukma Aji yang semenjak tanggal 28 November 2010 yang lalu hilang akhirnya ditemukan. Bagaimana cerita selengkapnya aku juga belum tahu. Katanya yang bersangkutan ditemukan dalam kondisi linglung dan oleh anggota keluarganya di bawa ke RS di Jakarta guna penanganan lebih lanjut.
Yang terpenting sekarang adalah sudah ditemukan. Lega. dan buat seseorang yang di Purwokerto..........Hmm dah tenang ta.

Buat Heru....semoga ada pelajaran berharga yang dipetik dari kejadian ini.

Buat temen-temen semua Terimakasih atas doanya.
Continue >>>
 

Curahan Hati ♣ ♣ ♣ Mamanunes Templates ♣ ♣ ♣ Inspiração: Templates Ipietoon
Ilustração: Gatinhos - tubes by Jazzel (Site desativado)